oleh: Mentari Nursaniya (17659)
Batik, salah satu warisan kebudayaan masyarakat Yogyakarta yang
sudah diakui oleh organisasi dunia UNESCO. Motif-motif yang indah dan beragam
warna dari kain batik banyak digemari masyarakat dunia, namun dulu bisa
dibilang berbeda 180o. Disaat batik belum dihargai, ada sebuah
keluarga berlatar belakang Tiongkok yang amat mencintai batik dan berusaha
tetap melestarikannya sebagai usaha turun-temurun di “Kota Gudeg” ini.
Keluarga Ibu Dewi Nugroho sang pengelola adalah pemilik sebuah pusat
produksi batik turun-temurun di Jogja. Usia Ibu Dewi kini sudah mencapai 84
tahun dan beliau adalah generasi ke-4 dari keluarganya. Kini pusat produksi
batik tersebut dijadikan sebuah museum batik dan sulam dan hanya melakukan
produksi untuk mengisi waktu luang. Museum Batik dan Sulam ini terletak di Jl.
Dr. Sutomo 13A RT 049 RW 12 Bausasran, Danurejan, Yogyakarta. Untuk bisa
menikmati koleksi museum ini kita bisa membeli tiket seharga Rp. 20.000,- dan
untuk mengikuti kelas membatik kita harus merogoh kocek sebesar Rp. 25.000/jam.
Selain Museum dan kelas membatik, tempat wisata yang satu ini juga memiliki
fasilitas Hotel dan toko souvenir. Museum ini juga memiliki beberapa peraturan
seperti dilarang makan minum, merokok, membawa senjata api/tajam, juga
memotret.
-peraturan yang harus dipatuhi pengunjung Museum Batik Yogyakarta-
-kelas membatik dengan pengajar yang juga merangkap sebagai guide di museum-
Museum Batik dan Sulam ini menyimpan ribuan koleksi kain batik dari
berbagai tempat. Koleksi tertuanya adalah kain batik dari tahun 1730an yang
dirawat dengan seksama dan dibersihkan tiap bulannya agar tidak rusak termakan
waktu. Selain kain batik, museum ini juga menyimpan berbagai alat-alat yang
berkaitan dengan produksi batik, koleksi pola batik dan bordir, kebaya Encim
(cina), juga hasil sulaman tangan Bu Dewi sendiri. Salah satu hasil sulaman Bu
Dewi bahkan mendapatkan Rekor dari MURI untuk sulaman tangan berukuran 90 x 400
cm bertema “Penyalipan Tuhan Jesus di Golgota”. Ibu Dewi juga menyulam gambar dari protret diri,
lukisan ternama, sampai tokoh-tokoh ternama. Salah satu
hal yang menarik perhatian saya adalah sebuah sulaman bertema “The Last Supper”
yang belum terselsaikan karena Ibu Dewi sudah tidak bisa menyulam seperti dulu
karena usianya yang sudah tua dan tidak ada yang bisa meneruskan kerajinan itu
karena putri Bu Dewi sendiri ada di Jakarta.
Museum ini bisa dibilang berhasil dalam menjelaskan kepada para nengunjungnya
tentang betapa pentingnya melestarikan batik. Betapa dulu batik tidak banyak
dihargai orang hingga kini bisa dihargai. Betapa keluarga Tiongkok ini telah
jatuh cinta pada batik dan dengan sepenuh hati menjaga warisan budaya dengan
ketekunan dan ketelitian dalam menbuat dan menjaga hasil karyanya. Jika
orang-orang pendatang bisa menjaga budaya kita, kenapa kita tidak? Jadi mari
lestarikan dan hargai hasil-hasil budaya kita bersama-sama.
Museum Batik Yogyakarta
Alamat: Jl. Dr. Sutomo 13A RT 049 RW 12 Bausasran, Danurejan,
Yogyakarta (55211)
Telp: (0274)562338
HTM: Rp. 20.000, Rp. 25.000 per jam untuk kelas membatik
Buka: Senin-Sabtu (09.00-12.00, 13.00-15.00)
Hari Minggu / libur (dengan perjanjian untuk study tour atau kelompok min 5 orang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar