Jumat, 26 Desember 2014

MUSEUM BATIK YOGYAKARTA -lestari budaya yang pernah pudar-

oleh: Mentari Nursaniya (17659)


Batik, salah satu warisan kebudayaan masyarakat Yogyakarta yang sudah diakui oleh organisasi dunia UNESCO. Motif-motif yang indah dan beragam warna dari kain batik banyak digemari masyarakat dunia, namun dulu bisa dibilang berbeda 180o. Disaat batik belum dihargai, ada sebuah keluarga berlatar belakang Tiongkok yang amat mencintai batik dan berusaha tetap melestarikannya sebagai usaha turun-temurun di “Kota Gudeg” ini.

Keluarga Ibu Dewi Nugroho sang pengelola adalah pemilik sebuah pusat produksi batik turun-temurun di Jogja. Usia Ibu Dewi kini sudah mencapai 84 tahun dan beliau adalah generasi ke-4 dari keluarganya. Kini pusat produksi batik tersebut dijadikan sebuah museum batik dan sulam dan hanya melakukan produksi untuk mengisi waktu luang. Museum Batik dan Sulam ini terletak di Jl. Dr. Sutomo 13A RT 049 RW 12 Bausasran, Danurejan, Yogyakarta. Untuk bisa menikmati koleksi museum ini kita bisa membeli tiket seharga Rp. 20.000,- dan untuk mengikuti kelas membatik kita harus merogoh kocek sebesar Rp. 25.000/jam. Selain Museum dan kelas membatik, tempat wisata yang satu ini juga memiliki fasilitas Hotel dan toko souvenir. Museum ini juga memiliki beberapa peraturan seperti dilarang makan minum, merokok, membawa senjata api/tajam, juga memotret.

-peraturan yang harus dipatuhi pengunjung Museum Batik Yogyakarta-

-kelas membatik dengan pengajar yang juga merangkap sebagai guide di museum-

Museum Batik dan Sulam ini menyimpan ribuan koleksi kain batik dari berbagai tempat. Koleksi tertuanya adalah kain batik dari tahun 1730an yang dirawat dengan seksama dan dibersihkan tiap bulannya agar tidak rusak termakan waktu. Selain kain batik, museum ini juga menyimpan berbagai alat-alat yang berkaitan dengan produksi batik, koleksi pola batik dan bordir, kebaya Encim (cina), juga hasil sulaman tangan Bu Dewi sendiri. Salah satu hasil sulaman Bu Dewi bahkan mendapatkan Rekor dari MURI untuk sulaman tangan berukuran 90 x 400 cm bertema “Penyalipan Tuhan Jesus di Golgota”. Ibu Dewi juga menyulam gambar dari protret diri, lukisan ternama, sampai tokoh-tokoh ternama. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah sebuah sulaman bertema “The Last Supper” yang belum terselsaikan karena Ibu Dewi sudah tidak bisa menyulam seperti dulu karena usianya yang sudah tua dan tidak ada yang bisa meneruskan kerajinan itu karena putri Bu Dewi sendiri ada di Jakarta.

Museum ini bisa dibilang berhasil dalam menjelaskan kepada para nengunjungnya tentang betapa pentingnya melestarikan batik. Betapa dulu batik tidak banyak dihargai orang hingga kini bisa dihargai. Betapa keluarga Tiongkok ini telah jatuh cinta pada batik dan dengan sepenuh hati menjaga warisan budaya dengan ketekunan dan ketelitian dalam menbuat dan menjaga hasil karyanya. Jika orang-orang pendatang bisa menjaga budaya kita, kenapa kita tidak? Jadi mari lestarikan dan hargai hasil-hasil budaya kita bersama-sama.

Museum Batik Yogyakarta
Alamat: Jl. Dr. Sutomo 13A RT 049 RW 12 Bausasran, Danurejan, Yogyakarta (55211)
Telp: (0274)562338
HTM: Rp. 20.000, Rp. 25.000 per jam untuk kelas membatik
Buka: Senin-Sabtu (09.00-12.00, 13.00-15.00)
           Hari Minggu / libur (dengan perjanjian untuk study tour atau kelompok min 5 orang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar