Rabu, 24 Desember 2014

Museum Sonobudoyo I: Hiruk-Pikuk Budaya dan Sejarah Indonesia

Penulis: Idham Raharfian (17582)



Pendahuluan
Sudah merupakan klisé bahwa Indonesia kaya akan sejarah dan budaya yang berakar dari sebuah zaman yang tak pasti. Melimpahruahnya berbagai produksi sejarah dan budaya ini tentunya membutuhkan suatu wahana yang berperan untuk menguak secara runtut potongan sejarah beserta budaya yang ada di dalamnya. Tentunya, salah satu media yang sangat berperan ialah keberadaan sebuah museum. Namun, sayangnya banyak orang-orang yang tak berminat berkunjung ke museum untuk mengulik berbagai sejarah dan kebudayaan bangsa karena stigma akan museum yang terkesan membosankan dan berisi koleksi-koleksi yang tidak lengkap. Tetapi, anggapan tersebut cepat atau lambat dapat disanggah oleh keberadaan Museum Sonobudoyo I yang berada di Jl. Trikora 6 Yogyakarta. Terdapat segudang alasan yang menjelaskan mengapa semua orang harus menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu musem dengan koleksi terlengkap di Indonesia ini. Dalam tulisan ini, penulis merumuskan dua faktor utama meliputi faktor historis museum yang kompleks dan faktor fasilitas serta kelengkapan koleksi yang tersimpan di dalam museum yang dihimpun dari kunjungan penulis ke Museum Sonobudoyo I pada tanggal 23 Oktober 2014. Harapannya, faktor-faktor inilah yang seyogyanya menjadi acuan bagi siapapun untuk mengunjungi Museum Sonobudoyo I.


Latar Historis yang Kompleks di balik Berdirinya Museum Sonobudoyo I
            Siapa yang menyangka bahwa berdirinya Museum Sonobudoyo I terdapat kaitan yang sangat kuat terhadap kondisi politik kolonial Belanda pada waktu itu, yaitu sejalan dengan diberlakukannya Politik Etik, maka perkembangan sosial budaya di Yogyakarta pada khususnya berkembang dengan pesat, salah satunya dengan munculnya sebuah gagasan untuk mendirikan sebuah museum yang akan menyimpan benda-benda berunsur etnografis maupun arkeologis. Gagasan ini dicetuskan dari sebuah kongres yang diinisiasi oleh Java Institut pada tahun 1931, sebuah organisasi yang bergerak pada bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Seiring waktu berjalan, seorang arsitek asal Belanda, Thomas H. Karsten, tertarik untuk men-design bentuk bangunan museum dan menyandingkan pemikiran rasionalnya dengan kebudayaan khas Jawa. Dua tahun berselang, bangunan museum mulai dibangun di atas lahan yang dihadiahi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII yang berada di utara Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1934, beliau pula yang meresmikan museum ini serta memberi nama ‘Sonobudoyo’ yang memiliki arti sono: tempat; budoyo; budaya – tempat budaya. Dengan latar historis yang cukup panjang dan kompleks, tak heran bahwa siapapun yang berkesempatan menginjakkan kaki ke Museum Sonobudoyo I sangatlah beruntung karena dapat menjadi saksi hidup akan sebuah peninggalan eksplisit dari jejak sejarah Indonesia.

Fasilitas yang Mendukung serta Koleksi yang Sangat Lengkap
            Ketika pertama kali memasuki area Museum Sonobudoyo I, ciri khas kebudayaan Jawa dan Yogykarta serta kuatnya pancaran historis Tanah Air sudah dapat terlihat terpancar dari bentuk pintu gerbang yang bernama Kuncungi dan deretan prasasti-prasasti yang berjajar di halaman timur Museum Sonobudoyo I. Setelah melewati pintu gerbang, pengunjung akan dilambungkan kembali oleh nuansa khas Yogyakarta dengan disambut oleh sebuah pendhopo berbentuk joglo yang sangat cantik menjulang tinggi dengan atap yang sangat tinggi. Bangunan joglo ini dipercantik dengan dinding kaca yang memiliki ukiran-ukiran Jawa mengitari ¾ wilayah joglo, tentunya menambah kesan mewah bagi pendhopo ini. Memasuki pendhopo, sentoran Air Conditioner serta semerbak pewangi ruangan memanjakan pengunjung yang datang di siang yang terik, tak lupa juga mereka akan langsung disambut oleh petugas dengan ramah untuk membayar tiket masuk sebesar Rp. 3.000,00 per orang dan ditawarkan pilihan untuk menyewa seorang guide atau tidak. Setelah itu, para pengunjung disuguhi pelataran yang cukup luas di sisi kanan pendhopo di mana terdapat alat-alat gamelan yang sangat lengkap yang biasa digunakan untuk pagelaran kesenian jawa maupun wayang.






Setelah puas melihat sekelumit pesona di pendhopo, para pengunjung dapat berjalan menuju bagian selanjutnya, yaitu bagian  Pringgitan dan Dalem Tengah. Para pengungjung dapat secara historis dan runtut mengamati benda-benda peninggalan prasejarah, zaman Islam, serta zaman klasik, bahkan di bagian ini juga terdapat peninggalan artefak asli yang sudah berupa tulang-belulang lengkap menyerupai tubuh manusia. Jika para pengunjung mengalami kesulitan untuk mencerna asal-usul benda yang ditampilkan, tidak perlu runyam karena terdapat sebuah monitor layar sentuh yang dapat memberikan informasi secara lengkap dan simpel mengenai benda-benda yang ada di bagian Pringgitan dan Dalem Tengah. Nuansa di bagian Pringgitan  dan Dalem Tengah ini pun dibuat redup sedemikian rupa dengan permainan lampu berwarna kuning yang hanya terfokus ke objek-objek yang dipamerkan, hal ini tentu membuat para pengunjung betah untuk mengulik objek-objek yang ada, tak lupa tulisan yang ditampilkan juga dibuat semenarik dan seinformatif mungkin agar para pengunjung dapat memahami konteks dari objek yang sedang diamati. Objek-objek yang dipamerkan antara lain: alat-alat berburu (kapak lonjong, kapak perimbas), mengolah makanan (nekara), hingga bahan dasar untuk tempat tinggal (transformasi bentuk anyaman bambu)















Setelah mengamati sekitar 800 hingga 1000 benda-benda prasejarah dan zaman Islam di bagian Pringgitan dan Dalem Tengah, para pengunjung dapat berajak ke bagian Senthong yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian Senthong Tengen (Senthong bagian kanan), Senthong Tengah (Senthong bagian tengah), dan Senthong Kiwa (Senthong bagian kiri) yang masing-masing ruang tersimpan benda-benda batik, topeng, wayang, benda-benda lambang Sri Dewi, serta ruang koleksi Bali. Berbeda dengan bagian Pringgitan dan Dalem Tengah, ketiga Senthong ini didesain dengan benda-benda dipajang mengelilingi ruangan dan terdapat sofa yang memanjang di tengah. Tak lupa hampir di setiap ruangan juga dilengkapi dengan monitor layar sentuh untuk memudahkan pengunjung menggali informasi yang lengkap. Memasuki Senthong yang memamerkan koleksi batik dan wayang, segala motif kain batik dari berbagai daerah dan proses pengerjaan kain batik terpampang dengan rapi dan runtut lengkap dengan mannequin-nya. Selain itu, terdapat juga sebuah Certificate of Convention dari UNESCO terkait dengan pengukuhan Batik sebagai warisan budaya dunia.








Begitu pula ketika memasuki Senthong yang memuat berbagai jenis wayang, para pengunjung dapat mengamati ratusan koleksi karakter wayang jawa serta wayang yang terbuat dari kayu di bagian ruangan ini. Pada Senthong ini juga dipercantik dengan sentuhan palet kayu yang menghiasi langit-langit ruangan tersebut dengan sebuah Lampu Gantung Gentor yang menjuntai di tengahnya.







Pada bagian Senthong Kiwa, para pengunjung dibawa ke kebudayaan yang kontras dengan Senthong sebelumnya, yaitu koleksi topeng, ruang Jawa Tengah, serta kebudayaan dan koleksi Bali. Mulanya para pengunjung disuguhi berbagai topeng-topeng khas Indonesia yang acapkali digunakan untuk merayakan sebuah upacara, tarian, maupun ritual tertentu. Melangkah ke ruang Jawa Tengah, ditampilkan berbagai benda-benda, miniatur, dan koleksi khas dari Jawa Tengah seperti ukiran kayu dari jepara yang sangat besar, berbagai macam keris dan asal-usulnya, serta terdapat pula miniatur Candi Borobudur di ruangan tersebut. Setelah ‘berkeliling’ Pulau Jawa, para pengunjung lantas diantar ke ruang kebudayaan dan koleksi Bali yang menampilkan berbagai benda-benda etnik Bali seperti benda-benda yang sering digunakan untuk Yadnya atau upacara kurban suci umat Hindu seperti patung-patung dewa dan pahatan menyerupai ngejot (makanan yang dipersembahkan untuk upacara). Selain itu, di ruangan ini juga ditampilkan berbagai macam hasil kesenian pahatan dan lukisan khas Bali. Sayangnya, kondisi ruang koleksi Bali terbilang masih sedikit kuno dibanding bagian ruang yang lain, hal ini menyurutkan minat pengunjung untuk mengamati lebih lanjut ratusan koleksi benda khas Bali yang sesungguhnya sayang untuk dilewatkan. Sebagai pamungkas tapak tilas meganya sejarah Indonesia di Museum Sonobudoyo I, para pengunjung diantar oleh sebuah candi bernama Candi Bentar dengan gaya arsitektur mirip seperti pura di Bali lengkap dengan hiasan bunga kamboja yang sedang mekar menghiasi area candi serta sebuah meriam tua di ujung pintu keluar yang dulunya digunakan oleh pasukan Hamengkubuwana III untuk berperang.




Penulis (kiri-bawah) beserta teman satu kelompok berfoto di Candi Bentar, Museum Sonobudoyo I, Yogyakarta



Kesimpulan

            Melimpah-ruahnya kebudayaan dan nilai historis Bangsa Indonesia seraya dengan semakin kerasnya hantaman globalisasi hendaknya menjadi ancaman utama bagi ketahanan kebudayaan dan nilai hitoris untuk dijaga nilai luhurnya. Museum sebagai salah satu media yang sangat diandalkan untuk menahan hantaman tersebut justru kian lama kian berkurang kekuatannya. Namun, keberadaan Museum Sonobudoyo I sebagai miniatur budaya dan gudang sejarah Indonesia serta faktor-faktor berupa nilai latar hitoris, fasilitas umum dan koleksi yang sangat lengkap, hendaknya dapat menjadi acuan, rujukan, serta tempat mengedukasi bagi siapapun guna memperkuat fondasi untuk menahan hantaman yang semakin keras di masa mendatang.



Referensi
Press Release Wikipedia, "Museum Sonobudoyo", Wikipedia (daring), < http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Sonobudoyo#Ruang_Bali >, diakses 15 Desember 2014.

Wardani, L. K., "Nilai Budaya pada Interior Museum Sonobudoyo Yogyakarta", Universitas Kristen Petra Surabaya (daring), <puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/2136.pdf>, 2007, diakses 15 
Desember 2014.

1 komentar: