Penulis: Idham Raharfian (17582)
Pendahuluan
Sudah merupakan klisé
bahwa Indonesia kaya akan sejarah dan budaya yang berakar dari sebuah zaman
yang tak pasti. Melimpahruahnya berbagai produksi sejarah dan budaya ini
tentunya membutuhkan suatu wahana yang berperan untuk menguak secara runtut
potongan sejarah beserta budaya yang ada di dalamnya. Tentunya, salah satu media
yang sangat berperan ialah keberadaan sebuah museum. Namun, sayangnya banyak orang-orang yang tak
berminat berkunjung ke museum untuk mengulik berbagai sejarah dan kebudayaan
bangsa karena stigma akan museum yang terkesan membosankan dan berisi koleksi-koleksi
yang tidak lengkap. Tetapi, anggapan tersebut cepat atau lambat dapat disanggah
oleh keberadaan Museum Sonobudoyo I yang berada di Jl. Trikora 6 Yogyakarta. Terdapat
segudang alasan yang menjelaskan mengapa semua orang harus menyempatkan diri
untuk mengunjungi salah satu musem dengan koleksi terlengkap di Indonesia ini.
Dalam tulisan ini, penulis merumuskan dua faktor utama meliputi faktor historis
museum yang kompleks dan faktor fasilitas serta kelengkapan koleksi yang
tersimpan di dalam museum yang dihimpun dari kunjungan penulis ke Museum Sonobudoyo
I pada tanggal 23 Oktober 2014. Harapannya, faktor-faktor inilah yang
seyogyanya menjadi acuan bagi siapapun untuk mengunjungi Museum Sonobudoyo I.
Latar
Historis yang Kompleks di balik Berdirinya Museum Sonobudoyo I
Siapa yang menyangka bahwa berdirinya Museum
Sonobudoyo I terdapat kaitan yang sangat kuat terhadap kondisi politik kolonial
Belanda pada waktu itu, yaitu sejalan dengan diberlakukannya Politik Etik, maka
perkembangan sosial budaya di Yogyakarta pada khususnya berkembang dengan
pesat, salah satunya dengan munculnya sebuah gagasan untuk mendirikan sebuah
museum yang akan menyimpan benda-benda berunsur etnografis maupun arkeologis.
Gagasan ini dicetuskan dari sebuah kongres yang diinisiasi oleh Java Institut
pada tahun 1931, sebuah organisasi yang bergerak pada bidang kebudayaan Jawa,
Madura, Bali, dan Lombok. Seiring waktu berjalan, seorang arsitek asal Belanda,
Thomas H. Karsten, tertarik untuk men-design
bentuk bangunan museum dan menyandingkan pemikiran rasionalnya dengan
kebudayaan khas Jawa. Dua tahun berselang, bangunan museum mulai dibangun di
atas lahan yang dihadiahi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII yang berada di
utara Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1934, beliau pula yang meresmikan museum
ini serta memberi nama ‘Sonobudoyo’ yang memiliki arti sono: tempat; budoyo;
budaya – tempat budaya. Dengan latar historis yang cukup panjang dan kompleks,
tak heran bahwa siapapun yang berkesempatan menginjakkan kaki ke Museum
Sonobudoyo I sangatlah beruntung karena dapat menjadi saksi hidup akan sebuah
peninggalan eksplisit dari jejak sejarah Indonesia.
Fasilitas
yang Mendukung serta Koleksi yang Sangat Lengkap
Ketika pertama kali memasuki area Museum Sonobudoyo
I, ciri khas kebudayaan Jawa dan Yogykarta serta kuatnya pancaran historis
Tanah Air sudah dapat terlihat terpancar dari bentuk pintu gerbang yang bernama
Kuncungi dan deretan
prasasti-prasasti yang berjajar di halaman timur Museum Sonobudoyo I. Setelah
melewati pintu gerbang, pengunjung akan dilambungkan kembali oleh nuansa khas
Yogyakarta dengan disambut oleh sebuah pendhopo berbentuk joglo yang sangat
cantik menjulang tinggi dengan atap yang sangat tinggi. Bangunan joglo ini
dipercantik dengan dinding kaca yang memiliki ukiran-ukiran Jawa mengitari ¾ wilayah
joglo, tentunya menambah kesan mewah bagi pendhopo ini. Memasuki pendhopo,
sentoran Air Conditioner serta
semerbak pewangi ruangan memanjakan pengunjung yang datang di siang yang terik,
tak lupa juga mereka akan langsung disambut oleh petugas dengan ramah untuk
membayar tiket masuk sebesar Rp. 3.000,00 per orang dan ditawarkan pilihan
untuk menyewa seorang guide atau
tidak. Setelah itu, para pengunjung disuguhi pelataran yang cukup luas di sisi
kanan pendhopo di mana terdapat alat-alat gamelan yang sangat lengkap yang
biasa digunakan untuk pagelaran kesenian jawa maupun wayang.
Setelah puas melihat sekelumit pesona di
pendhopo, para pengunjung dapat berjalan menuju bagian selanjutnya, yaitu
bagian Pringgitan dan Dalem Tengah.
Para pengungjung dapat secara historis dan runtut mengamati benda-benda peninggalan
prasejarah, zaman Islam, serta zaman klasik, bahkan di bagian ini juga terdapat
peninggalan artefak asli yang sudah berupa tulang-belulang lengkap menyerupai
tubuh manusia. Jika para pengunjung mengalami kesulitan untuk mencerna asal-usul
benda yang ditampilkan, tidak perlu runyam karena terdapat sebuah monitor layar
sentuh yang dapat memberikan informasi secara lengkap dan simpel mengenai
benda-benda yang ada di bagian Pringgitan
dan Dalem Tengah. Nuansa di bagian Pringgitan dan Dalem
Tengah ini pun dibuat redup sedemikian rupa dengan permainan lampu berwarna
kuning yang hanya terfokus ke objek-objek yang dipamerkan, hal ini tentu
membuat para pengunjung betah untuk mengulik objek-objek yang ada, tak lupa
tulisan yang ditampilkan juga dibuat semenarik dan seinformatif mungkin agar
para pengunjung dapat memahami konteks dari objek yang sedang diamati.
Objek-objek yang dipamerkan antara lain: alat-alat berburu (kapak lonjong,
kapak perimbas), mengolah makanan (nekara), hingga bahan dasar untuk tempat
tinggal (transformasi bentuk anyaman bambu)
Setelah mengamati sekitar 800 hingga
1000 benda-benda prasejarah dan zaman Islam di bagian Pringgitan dan Dalem Tengah,
para pengunjung dapat berajak ke bagian Senthong
yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian Senthong Tengen (Senthong
bagian kanan), Senthong Tengah (Senthong bagian tengah), dan Senthong Kiwa (Senthong bagian kiri) yang masing-masing ruang tersimpan
benda-benda batik, topeng, wayang, benda-benda lambang Sri Dewi, serta ruang
koleksi Bali. Berbeda dengan bagian Pringgitan
dan Dalem Tengah, ketiga Senthong ini didesain dengan benda-benda
dipajang mengelilingi ruangan dan terdapat sofa yang memanjang di tengah. Tak
lupa hampir di setiap ruangan juga dilengkapi dengan monitor layar sentuh untuk
memudahkan pengunjung menggali informasi yang lengkap. Memasuki Senthong yang memamerkan koleksi batik
dan wayang, segala motif kain batik dari berbagai daerah dan proses pengerjaan
kain batik terpampang dengan rapi dan runtut lengkap dengan mannequin-nya. Selain itu, terdapat juga
sebuah Certificate of Convention dari
UNESCO terkait dengan pengukuhan Batik sebagai warisan budaya dunia.
Begitu pula ketika memasuki Senthong yang memuat berbagai jenis
wayang, para pengunjung dapat mengamati ratusan koleksi karakter wayang jawa serta
wayang yang terbuat dari kayu di bagian ruangan ini. Pada Senthong ini juga dipercantik dengan sentuhan palet kayu yang
menghiasi langit-langit ruangan tersebut dengan sebuah Lampu Gantung Gentor yang menjuntai di
tengahnya.
Pada bagian Senthong Kiwa, para pengunjung dibawa ke kebudayaan yang kontras
dengan Senthong sebelumnya, yaitu koleksi
topeng, ruang Jawa Tengah, serta kebudayaan dan koleksi Bali. Mulanya para
pengunjung disuguhi berbagai topeng-topeng khas Indonesia yang acapkali
digunakan untuk merayakan sebuah upacara, tarian, maupun ritual tertentu.
Melangkah ke ruang Jawa Tengah, ditampilkan berbagai benda-benda, miniatur, dan
koleksi khas dari Jawa Tengah seperti ukiran kayu dari jepara yang sangat
besar, berbagai macam keris dan asal-usulnya, serta terdapat pula miniatur
Candi Borobudur di ruangan tersebut. Setelah ‘berkeliling’ Pulau Jawa, para
pengunjung lantas diantar ke ruang kebudayaan dan koleksi Bali yang menampilkan
berbagai benda-benda etnik Bali seperti benda-benda yang sering digunakan untuk
Yadnya atau upacara kurban suci umat
Hindu seperti patung-patung dewa dan pahatan menyerupai ngejot (makanan yang dipersembahkan untuk upacara). Selain itu, di
ruangan ini juga ditampilkan berbagai macam hasil kesenian pahatan dan lukisan
khas Bali. Sayangnya, kondisi ruang koleksi Bali terbilang masih sedikit kuno
dibanding bagian ruang yang lain, hal ini menyurutkan minat pengunjung untuk
mengamati lebih lanjut ratusan koleksi benda khas Bali yang sesungguhnya sayang
untuk dilewatkan. Sebagai pamungkas tapak
tilas meganya sejarah Indonesia di Museum Sonobudoyo I, para pengunjung diantar
oleh sebuah candi bernama Candi Bentar dengan gaya arsitektur mirip seperti pura
di Bali lengkap dengan hiasan bunga kamboja yang sedang mekar menghiasi area
candi serta sebuah meriam tua di ujung pintu keluar yang dulunya digunakan oleh
pasukan Hamengkubuwana III untuk berperang.
Penulis (kiri-bawah) beserta teman satu kelompok berfoto di Candi Bentar, Museum Sonobudoyo I, Yogyakarta |
Kesimpulan
Melimpah-ruahnya
kebudayaan dan nilai historis Bangsa Indonesia seraya dengan semakin kerasnya
hantaman globalisasi hendaknya menjadi ancaman utama bagi ketahanan kebudayaan
dan nilai hitoris untuk dijaga nilai luhurnya. Museum sebagai salah satu media yang
sangat diandalkan untuk menahan hantaman tersebut justru kian lama kian
berkurang kekuatannya. Namun, keberadaan Museum Sonobudoyo I sebagai miniatur
budaya dan gudang sejarah Indonesia serta faktor-faktor berupa nilai latar
hitoris, fasilitas umum dan koleksi yang sangat lengkap, hendaknya dapat
menjadi acuan, rujukan, serta tempat mengedukasi bagi siapapun guna memperkuat
fondasi untuk menahan hantaman yang semakin keras di masa mendatang.
Referensi
Press Release Wikipedia, "Museum Sonobudoyo", Wikipedia (daring), < http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Sonobudoyo#Ruang_Bali >, diakses 15 Desember 2014.
Wardani, L. K., "Nilai Budaya pada Interior Museum Sonobudoyo Yogyakarta", Universitas Kristen Petra Surabaya (daring), <puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/2136.pdf>, 2007, diakses 15
Desember 2014.
thanks alot.. tulisannya mengilhami sekali.
BalasHapus