Kemudian kami diberitahu oleh petugas bahwa kami sudah bisa masuk ke dalam museum. Kami dipandu oleh seorang bapak paruh baya. Sepertinya, ia telah lama bertugas di museum ini. Museum Sonobudoyo Unit II memiliki 4 buah ruangan yang berisi benda-benda bersejarah, lukisan, miniatur dan lain-lain. Pada ruangan pertama terdapat semacam pengenalan daerah-daerah di Provinsi Yogyakarta seperti peta 3D yang menunjukkan Provinsi Yogyakarta dengan batas-batas kabupaten-kabupaten. Kemudian selanjutnya masing-masing kabupaten dibuat cornernya. Di setiap corner kabupaten terdapat ukiran lambang kabupaten, foto-foto, kain batik, ikon-ikon masing-masing kabupaten salah satunya di corner Kabupaten Bantul terdapat miniatur di dan sebagainya.
Ruangan kedua merupakan ruangan yang berisi benda-benda prasejarah, masa klasik dan masa Islam. Bagian prasejarah diisi dengan beberapa temuan di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul pada jaman paleolitik, neolitik dan megalitik yang merupakan temuan dengan andil yang besar bagi prasejarah Indonesia. Temuan-temuan ini adalah alat serpih, bilah, kapak persegi, beliung tangga, patung prasejarah, patung binatang prasejarah, fragmen gerabah, kendi, manik-manik dan batu pipisan. Terdapat juga beberapa bahan galian berupa batu-batuan yang cukup besar. Binatang-binatang yang diawetkan pun turut hadir mengisi sisi-sisi ruangan, seperti 2 ekor kobra, ular sawah dan biawak, pada bagian reptil; ayam bekisar, ayam kampung, burung merpati, bulus dan landak berukuran besar. Selain itu beberapa jenis bambu seperti bambu legi, bambu ampel, bambu ori, bambu apus dan beberapa jenis kayu dan batang pohon seperti kayu mindi, kayu kelapa dan pohon pinang juga melengkapi jenis tumbuhan yang dipamerkan. Di sini juga dipajang foto-foto dari proses eksavasi Gunung Wingko beserta keterangannya. Miniatur Gunung Merapi pun ada, lho. Tapi sebenarnya yang menarik secara visual di bagian prasejarah ini adalah display tiruan manusia purba, hehe. Jadi berasa melihat wujud nenek moyang.
Bagian masa klasik lebih banyak didominasi oleh patung batu Hindu dan Budha karena masa klasik Indonesia dimulai sejak kedatangan pengaruh agama-agama tersebut di tanah Jawa yang memberikan warna baru bagi kehidupan masyarakat Jawa pada masa itu. Selain itu, bagian masa klasik juga diisi dengan keramik-keramik Cina dari berbagai dinasti. Sedangkan pada bagian masa Islam terdapat foto-foto dan miniatur Masjid Kotagede Yogyakarta, kitab suci Al-Qur'an dengan ukuran yang besar dan sebagainya.
Berikut adalah ruang ketiga yang memiliki bagian-bagian historis, bahasa, pendidikan, organisasi sosial dan peralatan hidup dan teknologi. Pada saat memasuki ruangan ini kami dapat langsung melihat foto Kanjeng Pangeran Hariyo Hadipati Danuredjo VIII beserta istri Goesti Kanjeng Ratoe Tjondrokirono yang merupakan pemilik terdahulu dari museum ini yang tentunya pada saat itu belum menjadi sebuah museum. Pada bagian historis diwarnai oleh potret-potret para pahlawan pada masa perjuangan dan perlawanan terhadap para penjajah dan potret-potret pada Masa Pergerakan Nasional di Yogyakarta yang dipelopori oleh para pemuda dan cendekiawan seperti Kongres Budi Utomo, lahirnya Muhammadiyah, Kongres Perempuan I dan berdirinya Taman Siswa. Selain itu ada juga keterangan-keterangan masa penjajahan, seperti pada masa penjajahan Jepang khusus di Yogyakarta kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyelamatkan agar romusha tidak tidak dikirim keluar dibuat proyek Selokan Mataram. Sedangkan pada masa perang kemerdekaan atau masa revolusi, dipamerkan foto-foto wujud perlawanan terhadap penjajah di Yogyakarta seperti foto kegiatan Pak Dirman di Gedung Agung, foto Perundingan Komisi Tiga Negara di Kaliurang, foto Yogyakarta sebagai Ibukota Negara RI, foto Serangan Umum 1 Maret 1949 dan foto Pelantikan Bung Karno.
Bagian bahasa memuat keterangan perkembangan bahasa dan aksara yang digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 3 macam, yakni aksara Jawa Kuno, aksara Jawa Tengahan dan aksara Jawa Baru. Pada keterangan tersebut dijelaskan bahwa penggunaan aksara Kawi dan aksara Jawa Tengahan oleh masyarakat belum dapat ditentukan, karena prasasti-prasasti yang ditemukan pada abad ke-4 Masehi sampai abad ke-8 Masehi masih mempergunakan aksara Sansekerta. Setelah itu masyarakat Jawa Kuno mempergunakan Bahasa Kawi sampai masa keemasan Majapahit. Pada masa itulah timbul Bahasa Jawa Tengahan. Bahasa Jawa Baru ditulis dengan aksara Jawa yang terdiri dari ( ha.na.ca.ra.ka. dan seterusnya ). Bahasa ini sebagai bahasa ibu yang digunakan secara aktif di dalam masyarakat. Sedangkan struktur Bahasa Jawa Baru adalah:
1. Bahasa Ngoko
2. Bahasa Jawa Krama
3. Bahasa Jawa Krama Inggil
4. Bahasa Jawa Campuran antara Ngoko dan Krama
Selain keterangan di atas, terdapat tabel besar yang memperlihatkan wujud beberapa abjad di Indonesia, ada abjad Jawa Kuno, Bali, Jawa, Rencong, Rejang, Lampung dan Bugis Makassar. Prasasti-prasati pun tak ketinggalan mengisi bagian bahasa.
Bagian pendidikan memuat keterangan sisitem pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Sistem Pendidikan Formal
Berlangsung di kalangan sekolah-sekolah
b. Sistem Pendidikan Non Formal
Berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Antara lain dengan:
- Model Nyantrik : Cara mendidik langsung dengan praktek
- Model Pesantren : Cara mendidik selain dengan teori keagamaan juga pelajaran ketrampilan.
Pada bagian organisasi sosial terpajang dengan rapi bagan sebuah organisasi pun benderanya yang diikat pada sebuah tiang. Kami langsung beranjak pada bagian peralatan hidup dan teknologi. Dari nama bagiannya saja sudah dapat ditentukan benda-benda apa yang mengisi bagian ruangan tersebut. Ya, pada bagian ini dipamerkan alat, bahan dan proses pembuatan gula kelapa, minyak kelapa dan geplak. Pada bagian ini juga terdapat miniatur Rumah Tradisional Kotagede yang dibuat dengan teknik potong dan pahat. Miniatur tersebut merupakan salah satu contoh tempat tinggal saudagar kota gede dengan susunan rumah yang terdiri dari pendopo, rumah dalem, gandok kanan, gandok kiri, gudang dan dapur.
Ruangan keempat adalah ruangan terakhir di mana di dalam ruangan ini berisi berbagai macam kesenian seperti seni arsitektur yang memamerkan pajangan-pajangan foto dan miniatur rumah adat Yogyakarta, seni lukis yang memajang beberapa lukisan yang diantaranya lukisan R.A. Kartini dan lukisan seorang penari Bali yang menari sambil tersenyum manis. Ruangan ini juga menyajikan miniatur keadaan saat penjual dawet dan penjual soto sedang menjajakan jualannya. Selain itu terdapat pula manekin yang berpakaian adat Yogyakarta, baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara.
Di sini juga memuat keterangan tentang beberapa upacara adat diantaranya Upacara Bersih Desa yang masih dilestarikan oleh masyarakat pedesaan berkaitan dengan upacara kesuburan tanah. Maksud penyelenggaraan upacara ini untuk memohon keselamatan kehadapan Tuhan juga sebagai ungkapan terima kasih yang mendalam atas bantuanNya kepada para petani selama satu tahun (Jumeiri, dkk. Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 1983: 27). Selanjutnya adalah Upacara yang Berkaitan dengan Alam, walaupun kehidupan pertanian di Yogyakarta telah mengalami perkembangan, namun pergeseran itu belum dapat diikuti oleh semua masyarakat mendukugnya. Sebagian masyarakat masih menyelenggarakan kegiatan-kegiatan upacara untuk keselamatan hidup, menyelaraskan diri dengan alam, lingkungan misalnya upacara ruwatan bumi, ruwatan hewan, ruwatan anak sukerta, dan lain-lain (Bambang S. Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1980 hal 121)
Cabang seni yang lain adalah seni patung yang memamerkan beberapa patung seperti patung parvati dan patung kasih sayang, selain itu ada juga wayang golek dan topeng-topeng. Sedangkan seni kerajinan memperlihatkan kain-kain batik, peralatan minum teh, kendi, teko, celengan, keris dan sebagainya.
Setelah selesai melihat-lihat seluruh isi dari keempat ruangan, kami pun pamit kepada petugas yang telah memandu kami. Senangnya, kami dibebaskan harga tiket masuk (HTM), lho! Mungkin hal itu adalah tanda maaf bagi kami karena ketidaksiapan pihak museum saat kami datang berkunjung. Entahlah. Namun aku senang sekali karena dapat menambah wawasan secara cuma-cuma.
(Dewanti Dadana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar